Pada hari ini tanggal 30 September 2012, genap sudah 47 tahun kita
mengenang kembali tragedy 1965 sebagai tragedy kemanusiaan terbesar di
Indonesia. Peringatan ini tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit
dendam, membuka luka-luka lama, melampiaskan kemarahan, mengumbar
hujatan, menyebar kebencian atau mengipasi permusuhan melainkan untuk
mengajak bangsa kita untuk menjunjung tinggi-tinggi perikemanusiaan,
memupuk rasa persaudaraan, meng-hormati perasaan keadilan, menghormati
hukum dan hak asasi manusia demi kebaikan bersama seluruh bangsa
Peristiwa
Gerakan 30 September 1965 terjadi setelah Suharto melakukan kudeta
terhadap pemerintahan yang sah dibawah Presiden Sukarno. Selama 32 tahun
rezim Soeharto berkuasa, masyarakat telah dikelabui dengan informasi
dan sejarah yang melegitimasi tindakan kebiadaban rezim orde baru
terutama atas terjadinya pembantaian sebagaimana pengakuan Sarwo Edhie
Wibowo “seba-nyak tiga juta orang terbunuh dalam peristiwa 1965”.
Terjadinya penangkapan, penahanan dan wajib lapor terhadap puluhan ribu
orang selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun tanpa pernah menjalani
proses hukum dan peradilan dengan tuduhan “terlibat PKI”. Jutaan rakyat
kehilangan harta benda karena dirampas, anak istri diperkosa, pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan oleh instansi pemerintah (PNS), TNI, BUMN,
perkebunan tanpa pernah diberikan pesangon, pemberangusan hak untuk
berkarya, tidak dapat melanjutkan sekolah karena tidak bersih lingkungan
dan diskriminasi yang terus terjadi hingga kini.
Stigma PKI yang
diberikan oleh rezim orde baru dengan memberi label pada KTP sebagai
OT/ET dan anak keturunan dinyatakan tidak bersih lingkungan membuat anak
- keturunan korban sulit mendapatkan pekerjaan dan kehilangan hak untuk
menjadi Pegawai Negeri, TNI dan Polri dan membuat korban peristiwa 1965
menjadi warga kelas dua (marginalisasi). Kehidupan para korban sejak
tahun 1965 seperti mati suri, karena walaupun kami hidup tapi negara
tidak memberikan kami ruang untuk hidup layak dan selalu didiskriminasi
lewat berbagai kebijakan yang dibuat oleh negara. Hak-hak sipil &
politik serta hak-hak ekonomi dan sosial budaya yang dilindungi oleh
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan UUD ‘45 tidak dapat kami nikmati
karena tidak adanya perlindungan yang diberikan oleh Negara. Ironisnya,
malah Negara mengeluarkan berbagai peraturan yang mencabut hak-hak dasar
kami sebagai warga Negara dengan alasan “terlibat langsung atau tidak
langsung dalam peristiwa 1965" tanpa pernah secara terbuka lewat hukum
membuktikan keterlibatan para korban 1965.
Walaupun peristiwa
Gerakan 30 September 1965 telah berlalu empat puluh tahun yang lalu dan
dikenal sebagai tragedi terbesar di Indonesia pasca kemerdekaan namun
upaya yang dilakukan oleh negara untuk menyelesaikan permasalahan ini
masih sangat minim, padahal akibat peristiwa ini puluhan juta rakyat
mengalami diskriminasi dan dianggap sebagai penghianat bangsa karena
tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia oleh rezim otoriter Soeharto.
Pergantian
rejim yang berkuasa di era transisi demokrasi belum memiliki kemauan
politik untuk melakukan pelurusan sejarah atas tragedi ini sehingga
pelanggaran Hak Azasi Manusia terhadap jutaan rakyat korban tragedi ‘65
hingga kini masih terabaikan. Bahkan pemerintah Indonesia mempolitisir
tuntutan para korban tragedi politik 1965, dengan menggunakan UU No.27
Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang isi dan
hakekatnya melegitimasi stigma yang dibangun oleh rejim otoriter
Soeharto selama 32 tahun berkuasa.
Politik Indonesia masih
condong kepada kepentingan elit politik dan belum bergerak kepada
kepentingan rakyat. Hal ini dapat kita lihat dari UU No. 27 Tahun 2004
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menjadikan hak-hak korban
“barter” dengan pemberian maaf kepada pelaku. Pemberian amnesti oleh
negara menjadi penentu terhadap pemberian kompensasi dan rehabilitasi
terhadap para korban, dan ini memperlihatkan negara lebih melindungi
kepentingan para pelaku pelanggaran HAM bukan kepentingan korban yang
sudah lama menderita.
Peristiwa 1965 hendaknya memberikan
pelajaran berharga bagi bangsa kita untuk membangun relasi yang lebih
baik antara warga bangsa yang saat ini tersekat-sekat dengan prasangka
dan kebencian. Fragmentasi sosial yang saat ini kita rasakan adalah buah
dari kebencian dan prasangka yang terus menerus direproduksi. Amnesia
massal akibat versi tunggal sejarah yang terus menerus dipelihara sudah
saatnya dihentikan agar bangsa kita kembali bangkit menjadi bangsa yang
beradap dimana kekerasan tidak lagi mendapatkan tempat yang penting
dalam budaya bangsa. Marilah kita bangun kembali bangsa ini menjadi
bangsa yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, demokrasi dan keadilan
sebagai tonggak nilai budaya bangsa dimasa mendatang.
Dengan
alasan-alasan diatas maka kami KOMITE AKSI KORBAN PELANGGA-RAN HAM
PERISTIWA 1965 (KKP-HAM ’65) dengan ini menyatakan sikap :
1.
Menuntut pertanggungjawaban dan pengakuan Negara atas terjadinya
peristiwa pembantaian massal peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan
meminta maaf kepada korban maupun keluarganya ;
2. Adili Suharto selaku pihak yang sangat bertanggung jawab atas pembantaian jutaan rakyat Indonesia tahun 1965-1968 ;
3.
Lakukan pelurusan sejarah yang sudah diputar balikkan selama 40 tahun
dan menarik seluruh dokumen, arsip, buku, film, dll yang melakukan
pembodohan terhadap rakyat;
4. Memberikan rehabilitasi umum kepada seluruh korban pelanggaran HAM berat masa lalu ;
5.
Mencabut semua produk undang-undang yang bersifat diskriminatif dan
mengebiri hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya para
korban persitwa 1965 ;
Pengalaman Etis?
: GADIS ARIVIA
Hidup
beretika tidaklah sulit dipahami. Keputusan etis berkait erat dengan
konsep-konsep seperti "keadilan", "hak", "kewajiban", "kebaikan", dan
"kebena-ran". Namun, manusia lalu mempersulit konsep-konsep ini dengan
berbagai argumentasi yang "tidak adil", "tidak berhak", "tidak baik",
dan "tidak benar".
Manusia dapat melakukan keputusan etis yang
membutuhkan kepekaan akan bahasa? Kepekaan menangkap getaran, ekspresi,
dan bahasa "lain" yang muncul. Bahasa "lain" yang diutarakan dari mereka
yang tertekan, tertipu, tersakiti membutuhkan perangkat ekstra untuk
mendengarkan. Apa itu?
Heidegger dalam Letter on Humanism (1946)
menggarisbawahi keterbukaan (atau responsiveness). Tiap bahasa yang
digunakan membentuk, memberi, memasok cara berpikir, melihat, menjadi
diri yang terus dihadapkan berbagai bahasa yang mempunyai masing-masing
"kekuasaan" di belakangnya.
Dengan keterbukaan, segala bentuk
kekuasaan dapat diperiksa ulang, diper-tanyakan ulang, direnegosiasi
hingga akhirnya pengalaman etis tercapai. Hal inilah yang saya lakukan
dengan membuka hati guna mendengarkan kisah-kisah pilu para ibu yang
pernah dipenjara tanpa sebab. Simak film dokumenter Kado untuk Ibu
(Syarikat Indonesia, 2005).
Yang dibisukan
Tahun 1965, Ibu
Sumilah baru berusia 14 tahun, saat diambil dari keluarganya, ia
diangkut dengan truk berisi 48 orang ke penjara Wirogunan. Ia lalu
dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Plantungan di pegunungan Dieng,
Jawa Tengah, dan tinggal di sana hingga tahun 1971.
Dibebaskan
karena ada kekeliruan. Tanpa pernyataan maaf, tanpa ada rehabilitasi
nama, stigma eks tapol menghantui dirinya seumur hidup. Ibu Sumilah
tidak sendirian. Juga ada ibu Fatmiati yang disiksa karena tidak mengaku
sebagai anggota Gerwani. Ia menolak untuk mengakui perbuatan yang tidak
pernah ia lakukan. Ia pun dijebloskan ke LP Plantungan, tempat yang
pernah dipakai untuk kamp isolasi penyakit lepra di tahun 1957.
Dengan
ibu Putmainah. Ia ditangkap karena anggota Gerwani. Dikatakan,
organisasi ini bertujuan memberdayakan perempuan Indonesia dengan
menye-lenggarakan aneka kegiatan pendidikan tentang cara mengasuh anak,
pengetahuan gizi, dan hak-hak perempuan. Hak-hak perempuan yang dibela
adalah yang telah diabaikan para suami yang meninggalkan mereka. Memberi
penguatan sesama perempuan dan mencari peluang usaha untuk menyambung
ekonomi keluarga.
Organisasi ini tidak beda dengan PKK, yang
memerhatikan kesejahteraan keluarga. Entah mengapa, mereka dituduh
melakukan Operasi Harum Bunga terlibat pembunuhan para jenderal. Bahkan,
di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya anggota Gerwani digambarkan
menari-nari di atas penyiksaan para jenderal. Akhirnya, anggota Gerwani
diburu, dipenjara, dan dibunuh.
Kekerasan negara
Dan
pemerkosaan adalah bentuk paling populer kekerasan negara terhadap
perempuan. Kekerasan negara didefinisikan sebagai bentuk agresivitas
aparat atau pengelola negara atas masyarakat sipil. Mengapa terhadap
perempuan pelecehan dan pemerkosaan merupakan praktik ampuh? Pelecehan
dan pemerkosaan dianggap sulit untuk dituntut apalagi bila digunakan
saat negara dalam keadaan darurat.
Keadaan seperti itu, pelecehan
dan pemerkosaan dianggap ekses sehingga dinilai wajar. Masalah lain,
sulitnya mengungkap kasus-kasus itu karena korban risih membicarakannya
secara publik. Bagi militer, situasi ini amat menguntung-kan. Bila
masyarakat menganggapnya sebagai wilayah privat, berarti paling jauh
dihubungkan dengan penyimpangan tingkah laku individu, cukup dihukum
secara personal.
Special Rapporteur menegaskan, kekerasan
terhadap perempuan dipakai sebagai alat represi politik seperti layaknya
senjata perang. Target pelecehan dan pemerkosaan ditujukan kepada
aktivis perempuan, anggota kelompok oposisi, atau keluarga yang
tergolong kelompok yang dianggap radikal dan membahaya-kan stabilitas
negara.
Yang terjadi pada Sumarmiyati di Plantungan. Ia digunduli, ditelanjangi, di-"gerayang", dan dipaksa mencium kelamin para aparat.
Bangsa yang terluka
Terjadi
pada para korban di Plantungan pada tahun 1965- 1966 merupakan tragedi
yang menimpa suatu bangsa. Ingatan kolektif ini tidak mudah dilupakan,
meninggalkan kepedihan mendalam baik bagi generasi masa lalu maupun
generasi ke depan.
Ricoeur (2000) menegaskan, mengingat menjadi
tugas yang harus dipenuhi. Menghidupkan ingatan sosial bukan untuk
menaruh dendam dan benci pada kebrutalan kelompok tertentu di masa lalu,
tetapi lebih membangun proyek perdamaian dan berusaha tidak mengulangi
kekeliruan di masa lalu.
Bangsa hanya dapat dipulihkan bila
terjadi keterbukaan untuk menerima bahasa-bahasa "lain" yang telah lama
dibungkam. Keterbukaan menghasilkan kehidupan lebih jujur dan adil guna
membentuk pengalaman etis bersama.
Ceko Bongkar Konspirasi di Balik Kudeta PKI 1965
Minta Habisi dengan Sekali Pukul
447
halaman Kudeta 1 Oktober 1965 yang ditulis ilmuwan Ceko, Victor
Miroslav Vic, mengungkap detail teori konspirasi di balik kudeta
berdarah PKI 40 tahun lalu. Terutama tentang peran Ketua Partai Komunis
China Mao Zedong.
Jakarta
Pesawat kepresidenan Jetstar
yang membawa Presiden Soekarno dan 80 anggota rombongan, termasuk Ketua
CC (Committee Central) PKI Dipo Nusantara (D.N.) Aidit, meninggalkan
tanah air menuju Aljazair guna menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA)
II. Pesawat transit di Kairo, Mesir, 26 Juni 1965.
Ada kabar
bahwa Presiden Aljazair Ben Bella dikudeta. KAA pun ditunda hingga 5
November 1965. Bung Karno kemudian memutuskan pulang ke tanah air.
Sedangkan rombongan kecil yang dipimpin Aidit melawat ke Peking
(Beijing), China. Salah satu di antara mereka adalah Nyono.
Di
tanah air, penyakit ginjal Bung Karno kambuh lagi. Tim dokter China yang
merawat Bung Karno sejak 1960 mendiagnosis bahwa kali ini penyakitnya
makin gawat. Bahkan, tim dokter China itu memperkirakan, sewaktu-waktu
jika penyakit Bung Karno kambuh lagi nyawanya tak tertolong. Keadaan ini
makin mematangkan rencana PKI mengambil alih kekuasaan dari tangan Bung
Karno. Yakni, dengan menyingkirkan rival utamanya lebih dahulu: para
jenderal TNI AD.
Kesehatan Bung Karno itu terlihat dari perintah
pemanggilan mendadak Aidit dan Nyono oleh sang pemimpin besar revolusi
itu lewat Menlu Soebandrio. Keduanya diminta segera pulang ke tanah air.
Lewat kawat, Aidit menjawab akan pulang pada 3 Agustus 1965.
4
Agustus 1965, kesehatan Bung Karno terus memburuk. Dia tiba-tiba
muntah-muntah sebanyak 11 kali, ditambah hilang kesadaran empat kali.
Dokter kepresidenan, Dr Mahar Mardjono, pun mendadak dipanggil ke kamar
Bung Karno di Istana Negara. Saat itu sudah ada tim dokter China.
Diduga
keras ternyata diagnosis dokter China tadi berkaitan erat dengan
rencana PKI mengambil alih kekuasaan di Indonesia. Rencana ini muncul
setelah Aidit bertemu Mao Tze Tung (Mao Zedong) di China. Sebab, posisi
Bung Karno sebagai presiden sekaligus panglima tertinggi Angkatan
Bersenjata sangat menentukan arah politik Indonesia.
Sampai Bung
Karno mangkat, sudah bisa ditebak akan terjadi perebutan kekuasaan
antara PKI dan TNI-AD. Saling mendahului dan saling jegal antara
kekuatan saat itu sangat mewarnai politik Indonesia 1965. "Ternyata
diagnosis tim dokter China terbukti keliru. Sebab, Bung Karno baru
meninggal tujuh tahun kemudian," ungkap Ketua LIPI Taufik Abdulah dalam
bedah buku di Yayasan Obor yang menerbitkan buku karya Miroslav kemarin.
Lain
yang menguatkan bahwa PKI akan mengambil alih kekuasaan di Indonesia
terekam dalam pembicaraan Ketua Partai Komunis China Mao Tze Tung dan
Ketua CC PKI DP Aidit yang menemuinya Zhongnanghai, sebuah perkampungan
dalam dinding-dinding kota terlarang di China.
"Kamu harus mengambil tindakan cepat," kata Mao kepada Aidit.
"Saya khawatir AD akan menjadi penghalang," keluh Aidit ragu-ragu.
"Baiklah,
lakukan apa yang saya nasihatkan kepadamu; habisi semua jenderal dan
perwira reaksioner itu dalam sekali pukul. Angkatan Darat akan menjadi
seekor naga yang tidak berkepala dan akan mengikutimu," ungkap Mao
berapi-api.
"Itu berarti membunuh beratus-ratus perwira," tanya Aidit lagi.
"Di Shensi Utara, saya membunuh lebih dari 20 ribu orang kader dalam sekali pukul saja," tukas Mao.
Menemui
Mao, Aidit disertai dua dokter China, Dr Wang Hsing Te dan Dr Tan Min
Hsuen (salah satu di antaranya diyakini Miroslav sebagai perwira
intelijen China) terbang ke Jakarta guna mendeteksi kesehatan Bung
Karno. Pada 7 Agustus 1965, mereka menghadap Bung Karno di Istana
Merdeka.
8 Agustus 1965, Aidit kembali menemui Bung Karno di
Istana Bogor untuk berbicara empat mata. Menurut Miroslav, saat bertemu
secara pribadi dengan Bung Karno itulah, Aidit melaporkan hasil
pembicaraannya dengan Mao Tze Tung. Misalnya, advis untuk menyingkirkan
jenderal AD yang tidak loyal kepada presiden (baca dewan jenderal
sebutan PKI bagi jenderal AD).
Sadar benar tidak mudah
menyingkirkan para jenderal AD tanpa payung kekuasaan Soekarno. Kedua,
membentuk Kabinet Gotong Royong dengan PKI sebagai pemegang kendali
(dengan memasukkan para kadernya). Ketiga, setelah semua misi itu
sukses, diam-diam PKI menyiapkan strategi untuk menyingkirkan Bung Karno
secara halus. Caranya, China menawari Bung Karno untuk istirahat
panjang di sebuah vila dekat Danau Angsa, China, guna mengobati
penyakitnya.
"Itu sebenarnya cara licik Aidit dan Mao untuk
menyingkirkan Bung Karno dari kekuasaannya setelah melapangkan jalan PKI
mengambil alih kekuasaan," ungkap Miroslav.
Itu pernah
diterapkan Mao kepada Raja Kamboja Pangeran Norodom Sihanouk. Setelah
China berhasil mengomuniskan Kamboja lewat Pol Pot. Giliran Jenderal Lon
Nol mengudeta Sihanouk saat berkunjung ke Moskow. Saat Kremlin (baca
Uni Sovyet) menolak memberikan suaka kepada Sihanouk, China dengan
senang hati menawarkan tempat tinggal dan perawatan yang wah bagi
Sihanouk. "Istrinya, Princess Monica, sangat menikmati pemberian China
tadi," tambah Miroslav.
Hasil rekonstruksi kejadian yang dibuat
Miroslav, Bung Karno tampaknya sejalan dengan rencana Mao. Terbukti,
lanjut Miroslav, Bung Karno memanggil Brigjen Subur, Komandan Resimen
Tjakrabhirawa, dan Letkol Untung ke kamar tidurnya untuk bertanya pada
mereka.
"Apakah dia (Untung) cukup berani menangkap para jenderal
yang tidak loyal kepada presiden dan menentang kebijakannya?" tanya
Bung Karno.
"Saya akan melakukan kalau diperintahkan," jawab Untung saat itu.
Ketua
LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Taufik Abdullah mengatakan,
kevalidan sejarah seperti itu memang perlu diuji. Tapi, boleh jadi
dugaan keras Miroslav tersebut ada benarnya.
Membuat tamsil, ada
sepasang pengantin masuk rumah. Saat keluar wajahnya terlihat lusuh.
Orang bisa menduga, pasangan pengantin itu baru melaksanakan
kewajibannya sebagai suami istri. Tapi, tidak ada yang tahu persis.
"Bisa juga wajah yang tampak loyo itu disebabkan mereka habis
membersihkan rumah," ujar Taufik.
"Miroslav pantas menduga kuat
bahwa pembicaraan Aidit dan Bung Karno di kamar tidurnya adalah soal isi
pertemuan Aidit dengan Mao," tambah Taufik.
Tze Tung, lanjut
Miroslav, semula ingin menggandeng Bung Karno untuk menan-capkan
kekuasaan PKI di Indonesia. Tapi, dalam perkembangan selanjutnya, Bung
Karno dinilai bukan sosok pemimpin yang cocok. Dia dianggap terlalu
sembrono dan pembawaannya meledak-ledak. Tapi, Mao tetap membutuhkan
Bung Karno untuk mengantarkan PKI berkuasa di Indonesia.
Pembawaan
yang meledak-ledak tersebut pernah dilaporkan Menlu China Marsekal Chen
Yi saat menemui Bung Karno, 3 Desember 1964. Ketika itu, Bung Karno
menuntut China agar membagi teknologi nuklirnya dengan Indonesia. Bung
Karno juga mendesak uji nuklir dilakukan di wilayah Indonesia.
Tujuannya, memberi dampak psikologis kepada kawan dan lawan Indonesia.
Tapi, Chen Yi menolak karena itu terlalu berbahaya. Bung Karno kontan
naik pitam. "Sambil menggebrak meja, Bung Karno berdiri menudingkan
telunjuknya ke arah Chen Yi," ungkap Miroslav.
Keragu-raguan Mao
Tze Tung tersebut, akhirnya China menunda pengiriman 100 ribu pucuk
senjata untuk angkatan kelima (baca buruh dan tani) seperti dijanjikan
sebelumnya. Sebagai gantinya, Mao hanya mengirimkan 30 ribu pucuk
senjata lewat beberapa kapal guna menghadapi jenderal AD yang
reaksioner. Tapi, itu tidak gratis. Sebagai imbalannya, Mao minta
presiden melapangkan jalan PKI menguasai Indonesia. "Soal perjanjian
rahasia itu terungkap dalam surat Aidit 10 November 1965 yang dikirim ke
Bung Karno," terang Miroslav.
Intelijen yang dibangun PKI terus
mengintesifkan pembicaraan dengan penguasa komunis China guna
mempersiapkan pengambialihan kekuasaan di Indonesia. Kontak Aidit-Mao
maupun Soebandrio-Chen Yi makin intensif menjelang pengambilalihan yang
ternyata gagal itu.
Sejarah pun mencatat: pada 30 September 1965,
terjadi penculikan dan pembunuhan enam jenderal TNI-AD oleh pasukan
Cakrabhirawa. Mereka lalu dibawa ke Lubang Buaya untuk dimakamkan.
Itu
sekaligus pukulan balik bagi PKI. Pangkostrad Mayjen Soeharto berhasil
mengorganisasikan berbagai kekuatan anti-PKI untuk memukul balik
lawannya. Soeharto akhirnya menjadi penguasa Orba selama 30 tahun lebih.
Korban Pelanggaran HAM 1965 Tuntut Pencabutan UU KKR
Kompas
- Ratusan korban pelanggaran hak asasi manusia pasca-peristiwa G30S/
PKI tahun 1965 se-Sumatera Utara menuntut pencabutan Undang-Undang Nomor
27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Korban
yang berunjuk rasa di halaman Gedung DPRD Sumut, Jumat (30/9), itu juga
menuntut pencabutan semua produk hukum yang diskriminatif terhadap
hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia.
Bekas tahanan
politik dari berbagai daerah di Sumut, seperti Simalungun, Dairi, Asahan
hingga Medan, ini meminta pertanggungjawaban negara atas terjadinya
peristiwa pembantaian massal setelah peristiwa G30S 1965. ¡¨Kami hadir
di sini bukan untuk menghidupkan komunisme, apalagi membangkitkan Partai
Komunis Indonesia. Kami hanya ingin hak-hak kami sebagai warga negara
dikembalikan,¡¨ ujar salah seorang demonstran.
Menilai UU KKR
tidak berpihak kepada korban. Mereka menuntut UU tersebut dicabut dan
diganti dengan UU yang lebih memihak kepada korban. ¡¨Isi UU tersebut
hakikatnya melegitimasi stigma yang dibangun rezim otoriter di bawah
kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun. UU tersebut menjadikan hak-hak
korban dibarter dengan pemberian maaf kepada para pelaku. Negara lebih
melindungi kepentingan para pelaku pelanggaran, bukan kepentingan korban
yang sudah lama menderita,¡¨ ujar Saurma, aktivis Bakumsu, yang
mendampingi korban.
Pengunjuk rasa satu per satu juga menuturkan
pengalamannya selama menjadi tahanan politik tanpa sekali pun diadili di
pengadilan resmi. ¡¨Saya ditangkap dan dibawa ke penjara di Pematang
Siantar. Tiga bulan saya mendekam di sana dan diperlakukan sangat tidak
manusiawi. Kami harus makan nasi dicampur pasir. Tidak sekali pun saya
dibawa ke pengadilan,¡¨ ujar Galiam Sitohang (67), bekas anggota Serikat
Buruh Kendaraan Bermotor (SBKB).
Menuturkan, beberapa hari
setelah meletus peristiwa G30S di Jakarta, dia yang bekerja di Pematang
Siantar ditangkap tentara karena keanggotaannya di SBKB. Galiam bahkan
tidak tahu jika SBKB tersebut berafiliasi dengan PKI. „Mana kami tahu
kalau SBKB itu bagian dari PKI. Saat itu kami bekerja saja dan tidak
tahu politik,“ ujar dia.
Berbulan-bulan ditahan tanpa
pengadilan, membuat dia harus tercerai-berai dengan keluarganya di
kampung, Mariah Bahjambi, Kabupaten Simalungun. „Saat ditahan keluarga
saya tinggal di desa. Setelah tiga bulan keluar dari penjara,
penderitaan kami juga tidak berakhir. Karena tidak mungkin bekerja lagi,
kami terpaksa ikut kerja paksa di daerah Kisaran, hanya untuk bisa
bertahan hidup“ tutur Galiam.
40 tahun setelah peristiwa tragis
tersebut, dia bersama rekan-rekannya kembali memperjuangkan hak-haknya.
Mereka yang tergabung dalam Komite Aksi Korban Pelanggaran HAM Peristiwa
1965 Sumut ini belum diperlakukan layak.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar